
oleh Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A.
#1
Perlu untuk kita ingat kembali bahwasanya kehidupan dunia ini berisi dengan ujian-ujian. Allah ﷻ telah menekankan hal ini dalam banyak firman-Nya di dalam Al-Qur’an. Di antaranya Allah ﷻ berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Dialah Allah) yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا، إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 1-2)
Oleh karenanya, setiap orang di atas muka bumi ini harus sadar bahwasanya dia diciptakan memang untuk diuji oleh Allah ﷻ. Tidak ada seorang pun di atas muka bumi ini yang tidak diuji oleh Allah ﷻ.
Kita tentu tahu dan sadar bahwasanya semua orang pernah bersedih, atau bahkan sebagian dari kita mungkin sedang bersedih saat ini. Kesedihan tersebut tentu datang dengan sebab berbagai macam ujian. Ada orang yang diuji dengan harta yang sulit, ada orang yang diuji dengan badannya yang sakit atau cacat. Ada pula yang diuji dengan belum dikaruniai anak sementara telah menikah bertahun-tahun, dan bahkan ada yang diuji dengan anak yang banyak namun tidak taat kepada mereka. Ada pula sebagian wanita yang menangis karena belum mendapatkan pasangan di usianya yang semakin lanjut, sementara di sisi yang lain ada pula wanita yang sedang bersedih karena mendapatkan suami yang selalu membuatnya menangis.
Demikianlah yang namanya kehidupan, pasti akan dihiasi dengan berbagai macam ujian yang menimpa setiap orang di atas muka bumi ini. Hanya saja, setiap orang memiliki ujian yang berbeda-beda, ada yang sedikit dan ada yang banyak.
Ingatlah, bahwasanya yang diuji bukan hanya orang-orang miskin, akan tetapi orang kaya juga diuji, para pejabat juga diuji, bahkan bisa jadi ujian mereka lebih besar daripada kita, bisa jadi tangisan mereka lebih banyak daripada kita. Betapa sering mungkin kita melihat foto para pejabat yang tersenyum, akan tetapi mungkin kita melihat senyumannya tersebut penuh dengan keterpaksaan. Mengapa demikian? Karena di balik senyuman tersebut dia banyak menyimpang berbagai macam penderitaan.
Demikian pula, orang-orang saleh maupun yang tidak saleh juga diuji. Bahkan Allah ﷻ menjanjikan ujian yang lebih berat bagi orang-orang yang beriman. Allah ﷻ berfirman,
الم، أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ، وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 1-3)
Demikian juga Allah ﷻ berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Demikian juga sabda Nabi Muhammad ﷺ dari pertanyaan seseorang tentang siapa manusia yang paling berat ujiannya, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,
الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَمَا يَزَالُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para Nabi, lalu orang-orang saleh, kemudian orang yang paling mulia dan yang paling mulia dari manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika agamanya kuat maka akan ditambah ujiannya, dan jika agamanya lemah maka akan diringankan ujiannya. Tidaklah ujian itu berhenti pada seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”([1])
Subhanallah, Allah ﷻ menakdirkan Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang paling banyak ujiannya, bahkan mungkin segala bentuk ujian hampir beliau rasakan. Lihatlah, sejak kecil beliau sudah diuji, beliau lahir tanpa ayah, dan ibunya meninggal tidak lama setelah kelahirannya. Beliau ﷺ juga hidup sejak kecil dalam kondisi serba kekurangan, sehingga beliau akhirnya menggembala kambing. Rumah beliau sempit, bahkan sempat beberapa bulan tidak ada yang bisa di masak di rumah beliau.
Selain itu, ujian fisik dan mental juga beliau ﷺ alami. Beliau dilukai oleh kaumnya sendiri ketika berdakwah, beliau dihina dan dicaci sebagai pendusta, tukang sihir, dukun, pemutus silaturahmi, bahkan beliau juga dihina dengan julukan sebagai orang gila. Intinya, segala julukan terburuk pada zaman tersebut, semuanya ditempelkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ juga diuji dari sisi kehilangan. Beliau kehilangan Khadijah radhiallahu ‘anha, istri yang sangat beliau cintai, bahkan beliau kehilangan istri tercintanya tersebut di saat beliau sangat membutuhkan istrinya. Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ diuji dengan meninggalnya seluruh anak-anaknya kecuali Fatimah radhiallahu ‘anha.
Intinya, semua jenis ujian hampir dirasakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Beliau ketika sakit, beliau merasakan sakit dua kali lipat dari orang biasa.([2]) Beliau juga diracun, bahkan beliau meninggal karena sisa racun yang masih tersisa di dalam tubuh beliau.
Mungkin bisa kita katakan bahwa hanya satu ujian yang tidak dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu beliau tidak cacat fisik. Mengapa demikian? Karena beliau adalah seorang nabi, dan tidak pantas bagi seorang nabi adalah orang yang cacat, sebab akan menjadi bahan hinaan bagi orang-orang musyrikin.
Ketika kita tertimpa musibah, maka hendaknya kita ingat bahwasanya masih ada orang yang lebih bertakwa, yang lebih alim, yang menjadi teladan seluruh umat, ternyata kehidupannya penuh dengan musibah, dialah Nabi Muhammad ﷺ.
Nasihat-nasihat
Ada beberapa nasihat yang perlu kita sama-sama ingatkan, agar bisa meringankan beban kesedihan yang dialami oleh kita yang sedang bersedih.
- Ujian merupakan tabiat kehidupan
Demikianlah, yang namanya kehidupan pasti berisi ujian, sebagaimana telah kita sebutkan. Allah ﷻ telah berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah yang tidak ada hentinya. Lahir dalam kondisi menangis dan mungkin ditimpa dengan sakit. Setelah dewasa, harus bekerja mencari nafkah, harus melewati teriknya panas matahari, belum lagi ketika harus mendapat marah dari atasannya. Ketika hendak menikah, seseorang harus memiliki biaya yang mungkin tidak sedikit, sehingga harus bekerja lebih keras lagi dari biasanya. Setelah siapa menikah, bisa jadi lamarannya ditolak atau ternyata tidak merasa cocok. Jika telah menikah, belum tentu dia mendapat pasangan yang saleh atau salihah, bisa jadi pasangannya hanya menambah penderitaan hidupnya. Setelah memiliki anak-anak, bisa jadi anak-anaknya tumbuh tanpa tahu rasa berterima kasih, hanya bisa menuntut kepada orang tuanya. Setelah tua, bisa jadi dia melihat pasangannya meninggal terlebih dahulu, atau bahkan dia melihat anak-anaknya meninggal terlebih dahulu.
Ini semua adalah kondisi-kondisi yang menunjukkan bahwa setiap orang memang diciptakan di atas kepayahan. Oleh karenanya, ketika Imam Ahmad ditanya tentang kapan seseorang istirahat, maka beliau menjawab bahwa seseorang baru bisa beristirahat ketika telah menginjakkan kakinya di surga.
Siapakah di antara kita yang tidak mengalami kesusahan? Bahkan orang yang dianggap hidup dengan kekayaannya pun terkadang merasa susah dengan kekayaannya. Mereka pusing ketika pendapatan menurun, pusing ketika harus membayarkan THR seluruh karyawannya. Demikian pula presiden, pejabat negara beserta jajarannya juga tentu merasa susah dan gelisah.
Demikianlah kehidupan, segala isinya adalah ujian yang penuh dengan kesulitan dan kepayahan, dan semua orang pasti mengalaminya. Oleh karenanya, janganlah kita berangan-angan untuk bisa terlepas dari ujian, hanya saja bedanya ada orang yang ujiannya banyak, dan ada yang ujiannya sedikit.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata dalam syairnya,
مِحَنُ الزَمانِ كَثيرَةٌ لا تَنقَضي وَسُرورُهُ يَأتيكَ كالأَعيادِ
“Cobaan zaman banyak datang silih berganti, adapun kesenangan datang hanya sesekali saja seperti hari Id.”
Ini menunjukkan bahwa ulama sekelas Imam Syafi’i sendiri juga merasakan begitu banyak ujian kehidupan. Maka sudah seharusnya kita sadar bahwasanya dunia ini isinya adalah ujian.
- Mengingat bahwasanya yang memberi ujian adalah Allah ﷻ
Ketahuilah bahwasanya Allah ﷻ dengan sengaja menimpakan musibah kepada seseorang dengan hikmah yang Dia kehendaki. Allah ﷻ dengan hikmahnya memilih di antara kita uji dengan ujian tertentu, dan Allah ﷻ tahu bahwasanya ujian tersebut bisa untuk kita hadapi.
Ingatlah, ketika di antara kita ada yang diuji dengan kehilangan anaknya, atau kehilangan barang berharga, atau terluka, atau bahkan mungkin diuji dengan harus bercerai dengan pasangannya, maka tentu Allah ﷻ tahu bahwa ujian tersebut pantas untuk kita, dan kita bisa menghadapinya.
Terkadang, Allah ﷻ menguji seseorang dengan berbagai macam ujian seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ. Namun, sebagian orang lain mungkin hanya diberi satu ujian saja sampai akhir hayatnya, seperti kemiskinan. Mengapa demikian? Karena Allah ﷻ tahu bahwa dia mampu menghadapi ujian tersebut, dan Allah juga tahu ketika dia diberi ujian yang lain maka dia tidak mampu, sehingga Allah ﷻ hanya memberinya satu jenis ujian hingga di meninggal dunia.
Ketika seseorang telah menyadari hal ini semua, maka tentu dia akan rida dengan keputusan Allah ﷻ, terlebih lagi ketika menyadari bahwa yang menakdirkan semua musibah tersebut adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang Dia lebih sayang kepada hamba-Nya daripada sayangnya seorang ibu kepada anaknya.
Allah ﷻ telah berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ketika kita sudah yakin bahwasanya Allah ﷻ tidak menakdirkan sesuatu di luar kemampuan kita, melainkan Allah ﷻ menguji sesuai dengan kadar keimanan kita, maka yang perlu kita lakukan hanyalah tegar, bersabar, dan berdoa, dengan demikian dengan izin Allah ﷻ kita bisa menghadapi ujian tersebut.
- Ujian yang datang bukan untuk membinasakan seseorang
Setiap kita harus menyadari bahwa ketika Allah ﷻ memberikan ujian kepada kita, maka ujian tersebut bukan untuk membinasakan kita, melainkan Allah ﷻ ingin melihat dengan ujian tersebut bagaimana cara kita menghadapi ujian tersebut.
Ketika seseorang diuji dengan sebuah ujian, maka Allah ﷻ ingin melihat apakah kita bersabar menghadapi ujian tersebut, ataukah kita mengeluh sehingga akhirnya tidak mendapatkan pahala dari Allah ﷻ.
Para ulama sering menyampaikan bahwasanya ujian itu fungsinya seperti obat, pahit tapi harus diminum, dan jika seseorang tidak menghadapinya dengan kesabaran, maka seseorang tidak akan mendapatkan kesembuhan.
- Di antara hikmah ujian adalah karena Allah ingin melihat seorang hamba beribadah dengan berbagai macam ibadah
Ketika Allah ﷻ ingin melihat seseorang beribadah dengan ibadah syukur, maka Allah ﷻ memberi ujian berupa kenikmatan. Namun, terkadang Allah ﷻ memberikan seseorang musibah agar Allah ﷻ melihat bagaimana orang tersebut beribadah kepada Allah ﷻ dalam kondisi sulit.
Sangat sering kita lihat bahwa orang yang terkena musibah itu beribadah dengan berbagai macam ibadah, yang mungkin ibadah tersebut tidak dilakukan oleh orang yang mendapatkan kenikmatan.
Seorang yang diuji biasanya benar-benar bertawakal kepada Allah ﷻ, kalau berdoa dia menangis, selalu bangun salat malam, dan berbagai ibadah lainnya. Adapun orang yang mendapatkan kenikmatan, jarang ada yang berdoa dalam keadaan menangis, mungkin sedikit dari mereka yang bangun salat malam, dan mungkin sedikit dari mereka yang bertawakal.
Ibadah yang keluar dari hati seseorang yang sedang diuji dengan musibah itu sangat luar biasa, sehingga hasilnya adalah ibadah yang berbagai macam. Oleh karenanya, terkadang ada orang yang berdoa kepada Allah ﷻ untuk dilunasi utangnya, namun ternyata Allah ﷻ belum melunaskan utangnya. Mengapa demikian? Karena bisa jadi ketika utangnya dilunaskan, maka bisa saja dia berhenti berdoa kepada Allah ﷻ, tidak lagi salat malam. Bahkan, bisa jadi Allah ﷻ menambah utangnya hingga semakin terjepit, hingga akhirnya dia benar-benar tahu apa arti tawakal.
Oleh karenanya, dengan adanya ujian dan penderitaan, Allah ﷻ ingin melihat seorang hamba beribadah dengan berbagai macam model ibadah, ada ibadah syukur dan ada ibadah sabar.
Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, beliau beribadah dengan bersyukur dan juga beribadah dengan bersabar. Demikian pula Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, beliau adalah orang yang super kaya raya, dipenuhi dengan berbagai macam kenikmatan, ternyata beliau juga pernah diuji oleh Allah ﷻ. Demikian pula Nabi Ayub ‘alaihissalam, beliau pernah diberikan kenikmatan, dan juga pernah diberikan sakit yang tidak sebentar.
- Seseorang yang bersabar ketika diuji maka dia sedang berada dalam kebaikan
Ketika Anda diuji oleh Allah ﷻ dengan suatu ujian, kemudian Anda bersabar menghadapi ujian tersebut, maka ketahuilah bahwa Anda berada di dalam kebaikan. Akan tetapi, ketika Anda mengeluh dan protes terhadap ujian yang Anda alami, maka Anda telah keluar dari kebaikan.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya, dan apabila ia tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.”([3])
Oleh karenanya, ketika Anda yang diberi ujian itu bersabar, maka sesungguhnya Anda sedang berada di lautan kebaikan. Kebaikan akan senantiasa mengalir bagi Anda yang bersabar, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis tersebut.
Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يُصَابُ بِبَلَاءٍ فِي جَسَدِهِ، إِلَّا أَمَرَ اللهُ تَعَالَى الْحَفَظَةَ الَّذِينَ يَحْفَظُونَهُ، قَالَ: اكْتُبُوا لِعَبْدِي فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مِنَ الْخَيْرِ، مَا دَامَ مَحْبُوسًا فِي وَثَاقِي
“Tidaklah salah seorang dari kaum muslimin yang terkena musibah pada tubuhnya kecuali Allah akan menyuruh kepada para malaikat yang selalu menjaganya, Allah berfirman, ‘Tulislah untuk hamba-Ku di setiap siang dan malam dengan amal kebaikan sebagaimana amal kebaikan yang biasa ia lakukan, yaitu selama ia terpenjara oleh sakit yang Aku berikan’.”([4])
Di antara dalil lain yang menunjukkan bahwa orang yang diuji dan bersabar akan senantiasa berada di dalam kebaikan adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barang siapa di kehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya.”([5])
Hadis ini menunjukkan bahwa tanda seseorang di atas kebaikan adalah dengan Allah ﷻ berikan musibah baginya, dan tentunya dengan berbagai macam musibah yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda dalam hadis yang lain,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka.”([6])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah menyegerakan hukumannya di dunia, dan apabila Allah menghendaki keburukan kepada hamba-Nya maka Allah menahan dosanya sehingga dia terima kelak di hari kiamat.”([7])
Ini menunjukkan bahwa orang yang bersabar dengan musibah yang dia hadapi, maka dia senantiasa berada di dalam kebaikan, dan pahala akan terus dia dapatkan seperti air yang mengalir. Namun, ketika seseorang mengeluh atau protes terhadap takdir Allah ﷻ, maka saat itulah pahala akan berhenti. Oleh karenanya, ketika terbetik dalam hati Anda bahwa mengapa ujian ini tidak selesai, maka hendaknya Anda lawan perasaan tersebut, karena perasaan tersebut berasal dari setan yang ingin kita tidak berada di dalam kebaikan.
- Terkadang musibah diberikan untuk mengangkat derajat seseorang di surga
Di antara hal yang perlu kita renungkan adalah terkadang Allah ﷻ memberi musibah kepada kita tidak lain untuk mengangkat derajat kita di surga kelak. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لِيَكُونُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ الْمَنْزِلَةُ، فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ فَمَا يَزَالُ اللَّهُ يَبْتَلِيهِ بِمَا يَكْرَهُ، حَتَّى يُبَلِّغَهُ إِيَّاهَا
“Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun Allah tidak bisa mengangkat dia kepada kedudukan tersebut dengan amal salehnya, maka Allah terus memberinya ujian dengan perkara yang dia tidak suka, hingga Allah menyampaikan dia pada kedudukan (derajat) tersebut.”([8])
Siapakah di antara kita yang mengetahui berapa banyak amal saleh yang dia miliki? Padahal kalau kita merenungkan, maka kita mendapati bahwa diri kita ini jarang membaca Al-Qur’an, jarang salat malam, sedekah masih dipikir-pikir, berbakti kepada orang tua juga jarang, berbuat baik kepada istri kurang, lisan jarang basah dengan zikir, dan berbagai kekurangan lainnya.
Intinya, kalau kita mau mengalkulasi ibadah kita, maka pasti kita dapatkan ibadah kisa sangat sedikit. Oleh karenanya, ketika kita menginginkan derajat yang tinggi dengan amal yang sedikit tersebut adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka, tidak ada cara lain untuk menggapai derajat tersebut kecuali dengan diberi musibah, karena di balik musibah tersebut ada banyak ibadah yang mau tidak mau pasti akan kita lakukan, baik itu bersabar, kerendahan diri, kesedihan di hadapan Allah, inabah, dan bahkan menangis dalam sujud. Ibadah-ibadah tersebutlah yang kemudian mengangkat derajat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda dalam riwayat yang lain,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ، لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ، أَوْ فِي مَالِهِ، أَوْ فِي وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya, apabila seorang hamba telah tercatat memiliki kedudukan di sisi Allah, yang ia tidak bisa peroleh dengan amalannya, maka Allah akan mengujinya pada jasadnya, harta, atau pada anaknya, kemudian Allah memberikan kesabaran atas hal tersebut hingga Allah menyampaikannya kepada kedudukan yang telah tercatat baginya dari Allah.”([9])
Oleh karenanya, ketika seseorang diuji oleh Allah ﷻ mengingat hal ini, yaitu bahwasanya amalan yang dimiliki bisa jadi masih sangat sedikit, sehingga bisa jadi musibah yang dialamilah yang bisa mengangkat derajatnya di akhirat kelak.
- Musibah itu penghapus dosa
Untuk Anda yang sedang bersedih karena ujian yang menerpa, ingatlah bahwasanya ujian yang Anda alami adalah penghapus dosa-dosa. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah sesuatu penderitaan menimpa seorang mukmin, baik kesengsaraan, sakit, kesedihan masa lalu dan juga kekhawatiran terhadap yang akan menimpanya, melainkan dengan semua itu dihapuskan sebagian dosanya.”([10])
Dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad ﷺ menambahkan,
وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ مِنْ خَطَايَاهُ
“Dan tidak pula gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.”([11])
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Ujian senantiasa menimpa seorang mukmin dan mukminat pada diri mereka, anak dan harta mereka, hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu kesalahan pun atasnya.”([12])
Jika suatu penderitaan menimpa seorang mukmin, baik itu sakit seperti demam, keletihan, kesedihan akan masa lalu, kekhawatiran akan masa depan, kegelisahan yang tidak tampak sebabnya, gangguan orang lain berupa celaan dan hinaan, dan duri yang mengenainya, maka itu semua bisa menghapus dosa-dosa seseorang.
Wahai saudaraku, kita ini memiliki banyak dosa. Kalau orang-orang terdahulu berlindung dari dosa dengan tetap tinggal di rumahnya, namun kita di zaman ini malah bisa berbuat dosa di dalam rumah kita.
Oleh karenanya, ketika seseorang diberi ujian berupa musibah, maka hendaknya dia bersabar, karena bisa jadi ujian yang terus menerpa itu tidak lain agar seseorang bisa berjalan di atas muka bumi tanpa dosa sedikit sama sekali.
Tentunya, jangan kemudian seseorang meminta untuk diberi musibah. Nabi Muhammad ﷺ pernah mengisyaratkan akan hal ini dalam sabdanya,
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ، وَسَلُوا اللَّهَ العَافِيَةَ
“Jangan kalian mengharapkan bertemu musuh, dan mintalah keselamatan kepada Allah.”([13])
Artinya, jangan meminta diberi musibah, akan tetapi ketika ditimpa musibah maka bersabarlah, karena musibah itu bisa menghapuskan dosa.
Dari Jabir bin Abdillah, dalam riwayat Imam Ahmad ia meriwayatkan dengan sanad yang sahih,
اسْتَأْذَنَتِ الْحُمَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ” مَنْ هَذِهِ؟ ” قَالَتْ: أُمُّ مِلْدَمٍ، قَالَ: فَأَمَرَ بِهَا إِلَى أَهْلِ قُبَاءَ، فَلَقُوا مِنْهَا مَا يَعْلَمُ اللهُ، فَأَتَوْهُ، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: ” مَا شِئْتُمْ؟ إِنْ شِئْتُمْ أَنْ أَدْعُوَ اللهَ لَكُمْ فَيَكْشِفَهَا عَنْكُمْ، وَإِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَكُونَ لَكُمْ طَهُورًا “، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَتَفْعَلُ؟ قَالَ: ” نَعَمْ “، قَالُوا: فَدَعْهَا
“Demam memohon ijin kepada Nabi ﷺ, maka beliau bertanya, ‘Siapa ini?’ Dia menjawab, ‘Ummu Mildam’.([14]) Maka Rasulullah ﷺ menyuruhnya untuk pergi kepada penduduk Quba, hingga penduduk Quba tertimpa olehnya atas sepengetahuan Allah. Kemudian mereka (penduduk Quba) mendatangi Rasulullah dan mengadukan hal itu. Rasulullah bersabda, ‘Terserah kalian. Jika kalian mau, saya akan berdoa kepada Allah, hingga menyingkirkannya dari kalian. Jika kalian mau, maka itu adalah sebagai pembersih dosa-dosa kalian’. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah apakah demam bisa melakukan itu? Rasulullah bersabda, ‘Ya’. Mereka berkata, ‘Kalau begitu biarkan demam itu menimpa kami’.”([15])
Hadis di atas juga menunjukkan bahwasanya penyakit itu akan membersihkan dosa-dosa.
2#
- Bisa jadi musibah yang menimpa seseorang merupakan sebab terhindarnya dari musibah yang lebih besar
Seseorang yang terkena musibah hendaknya mengingat hal ini, bahwasanya bisa jadi musibah yang menimpanya itu merupakan sebab dia terhindar dari musibah yang lebih besar. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan bahwa jika kita susah memahami hal ini, lihat kembali kisah Nabi Khadhir yang membunuh seorang anak. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Kahfi,
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا
“Maka berjalanlah keduanya hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, ‘Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar’.” (QS. Al-Kahfi: 74)
Lalu di akhir pertemuan Nabi Khadhir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam, Nabi Khadhir menjelaskan,
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا، فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
“Dan adapun anak itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Nabi Musa ‘alaihissalam mengingkari perbuatan Nabi Khadhir yang membunuh seorang anak tanpa ada sebab. Namun, kemudian Nabi Khadhir menjelaskan bahwasanya anak tersebut jika dewasa akan menjerumuskan orang tuanya kepada kekufuran. Maka dengan meninggalnya anak tersebut adalah musibah, akan tetapi musibah tersebut mencegah terjadinya musibah yang lebih besar di kemudian hari. Maka, akhirnya Allah ﷻ pun mengganti anak tersebut dengan anak yang lebih baik. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khadhir ‘alaihimassalam ini menunjukkan bahwasanya dengan adanya musibah tersebut, Allah ﷻ menghindarkan seseorang dari musibah yang lebih besar.
Contoh kisah lain yang dibawakan oleh para ulama adalah kisah salah seorang panglima Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah bin Ziyad adalah pemimpin pembunuhan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Suatu ketika, panglima Ubaidillah bin Ziyad naik ke atap kemudian dia terjatuh sehingga kedua kakinya patah. Kemudian, dia dijenguk oleh seorang ulama bernama Abu Qilabah, murid dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Abu Qilabah berkata kepada panglima tersebut, ‘Insya Allah ini yang lebih baik yang Allah takdirkan bagimu’. Maka panglima tersebut berkata, ‘Kebaikan apa yang terdapat dalam kedua kakiku yang patah ini?’ Kemudian, beberapa hari berikutnya ada surat panggilan dari Ubaidillah bin Ziyad agar dia keluar untuk memerangi Husain bin Ali. Namun, karena kakinya yang patah, akhirnya dia tidak bisa ikut berperang. Setelah beberapa hari kemudian, dia kemudian mendengar kabar bahwa Husain bin Ali telah terbunuh, maka dia pun berkata, ‘Semoga Allah merahmati Abu Qilabah. Sungguh benar apa yang diucapkannya. Musibah yang kualami benar-benar merupakan kebaikan bagiku’.([1]) Ini menunjukkan bahwasanya musibah yang menimpa seseorang bisa jadi sebagai pencegah dari tertimpa musibah yang lebih besar.
Contoh lain adalah kisah yang sering penulis sampaikan, yaitu kisah seorang menteri yang selalu mengatakan, ‘Yang terbaik adalah pilihan Allah’. Setiap ada musibah, maka menteri tersebut akan datang dan berkata demikian. Sampai akhirnya, ketika sang raja terkena musibah berupa jari yang terpotong, maka sang menteri datang kepada sang raja dan berkata, ‘Yang terbaik adalah pilihan Allah’. Maka sang raja pun marah, akhirnya sang menteri tersebut di masukkan ke dalam penjara. Ternyata, ketika dimasukkan ke dalam penjara, sang menteri pun juga berkata, ‘Yang terbaik adalah pilihan Allah’. Singkat cerita, suatu hari sang raja keluar untuk berburu bersama menteri-menterinya yang lain. Saking asiknya mereka berburu, akhirnya mereka keluar dari daerah kekuasaannya. Akhirnya, mereka terjebak ke suatu kaum yang menyembah roh-roh, dan kaum tersebut menangkap orang untuk dikurbankan kepada sembahan mereka. Akhirnya, sang raja dan seluruh menterinya ditangkap. Maka dibakarlah mereka satu persatu untuk disembahkan kepada sembahan mereka. Namun, ketika sang raja hendak dipersembahkan, tiba-tiba salah seorang dari kaum tersebut berteriak mengatakan bahwa sang raja tidak pantas dipersembahkan untuk sembahan mereka karena memiliki cacat. Akhirnya, sang raja kemudian selamat dan pulang, kemudian dia mengingat pesan menteri yang dia penjarakan, ‘Yang terbaik adalah pilihan Allah’. Maka dia pula dan menemui menterinya tersebut dan menceritakan yang baru saja dia alami. Kemudian sang raja bertanya tentang perkataan sang menteri ketika di masukkan ke dalam penjara, maka sang menteri tersebut berkata bahwasanya kalau dia tidak dipenjara, maka bisa saja dia ikut bersama sang raja untuk berburu, dan dia tentu tidak bisa pulang karena ditangkap oleh kaum tersebut. Namun, kisah ini belum bisa penulis pastikan kebenarannya.
Oleh karenanya, ketika seseorang terkena musibah hendaknya menyadari bahwasanya bisa jadi musibah yang dia alami merupakan pencegah dari musibah yang lebih besar, biak hal itu diketahui atau pun tidak diketahui.
- Musibah mengajarkan seseorang untuk bersyukur
Terkadang, seseorang ditimpakan musibah oleh Allah ﷻ agar dia tahu bagaimana cara bersyukur yang benar. Seringnya seseorang tidak tahu bersyukur kecuali setelah diberi musibah. Seseorang terkadang lupa dengan nikmat kesehatan, dan dia baru sadar ketika telah diberi sakit. Pepatah Arab pernah mengatakan,
لَوْ لَمْ تَكُن الْمُصِيبَة لَمَّا كَانَت هُنَاكَ سَعَادَة
“Kalau bukan karena musibah, tidak ada yang namanya kebahagiaan.”
- Hendaknya beriman dengan takdir
Di antara hal yang bisa meringankan kesedihan seseorang adalah beriman dengan masalah takdir. Ketika seseorang beriman dengan takdir, maka dia tentu akan yakin bahwasanya musibah yang menimpanya tersebut merupakan takdir Allah ﷻ, dan tidak mungkin baginya untuk menghindar.
Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
فَتَعْلَمَ أنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“Ketahuilah, sesungguhnya yang menjadi bagianmu tidak akan lepas darimu, dan sesuatu yang bukan milikmu maka tidak akan menjadi bagianmu.”([2])
Perkataan Nabi Muhammad ﷺ ini adalah suatu hal yang pasti bagi setiap orang. Yang telah ditakdirkan bagi kita pasti akan menimpa kita, dan yang tidak ditakdirkan tidak akan menimpa kita.
Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”([3])
Takdir masing-masing dari kita telah dicatat oleh Allah ﷻ secara detail, dari ketika masih nutfah hingga meninggal dunia, dan masing-masing kita tidak akan keluar dari takdir tersebut.
Seseorang tidak akan bisa menghindar dari musibah yang ditakdirkan baginya. Misalnya, apakah seseorang wanita yang ditinggal mati anaknya, kemudian dia menangis meronta-ronta, apakah bisa menghidupkan anaknya kembali? Tentu tidak bisa. Bagaimana pun seseorang meronta-ronta, marah-marah, tidak akan mengubah kondisi seseorang. Oleh karenanya, seseorang ketika tertimpa musibah, maka hendaknya mengatakan,
قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya.”([4])
Maka, musibah itu hanyalah tentang bagaimana sikap seseorang dalam menghadapinya, seseorang tidak bisa menghindarinya. Jika seseorang bersabar menghadapi musibah tersebut maka dia dapat pahala dan derajat yang tinggi di sisi Allah ﷻ, tapi jika dia menghadapinya dengan tidak bersabar, maka dia akan mendapat dosa. Dengan meyakini hal ini, seseorang tentu bisa lebih mudah untuk bersabar untuk menghadapi musibah yang dia hadapi.
- Melatih diri untuk bersabar
Jika seseorang mendapati dirinya adalah orang yang kurang bersabar, maka hendaknya dia melatih dirinya untuk bersabar, karena jika dia melatih dirinya untuk bersabar maka dia tentu akan menjadi orang yang penyabar. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ
“Barang siapa berusaha sabar maka Allah akan menjadikannya sabar.”([5])
Ketika seseorang tertimpa musibah, kemudian ada rasa ingin memberontak dalam dirinya, ingin marah, ingin berteriak, maka hendaknya dia dengan segera mengucapkan, قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ ‘Ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya’, dan dia kemudian mengucapkan,
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)
Latihlah diri kita untuk bersabar dengan mengucapkan kalimat tersebut ketika pertama kali tertimpa musibah atau ada masalah, dengan begitu kita akan benar-benar bisa bersabar. Ketahuilah bahwasanya kalimat tersebut adalah kalimat yang luar biasa, dengan mengucapkannya bisa membuat hati kita langsung tenang.
- Perbanyak zikir kepada Allah ﷻ
Di antara hal yang bisa mengurangi kesedihan kita dan membantu kita dalam bersabar adalah dengan memperbanyak zikir kepada Allah ﷻ. Hal ini sebagaimana Allah ﷻ perintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Allah ﷻ berfirman,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُوْلُوْنَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam.” (QS. Qaf: 39)
Nabi Muhammad ﷺ dikatakan sebagai orang yang gila, dikatakan sebagai pemutus silaturahmi, dikatakan sebagai dukun, bahkan orang-orang kafir Quraisy mengatakan tentang Allah sesuatu yang membuat hati beliau jengkel. Namun, apa yang Allah ﷻ perintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ? Beliau diperintahkan untuk bersabar dan berzikir kepada Allah ﷻ di subuh dan petang hari. Ini menunjukkan bahwasanya zikir itu bisa menghilangkan kesedihan.
Demikian pula firman Allah ﷻ,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ، وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud (salat), Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 97-99)
Nabi Muhammad ﷺ ketika dikatakan dengan perkataan yang buruk tentu merasakan sakit hati. Bahkan Allah ﷻ sendiri yang mengatakan dalam ayat tersebut bahwasanya Dia tahu kalau hati Nabi Muhammad ﷺ menjadi sempit (sakit) karena ucapan-ucapan orang-orang musyrikin. Namun, Allah ﷻ memberikan solusi dengan berzikir kepada Allah ﷻ dan memperbanyak sujud kepada Allah ﷻ (salat).
Oleh karenanya, di antara hal yang bisa meringankan kesedihan adalah dengan memperbanyak zikir dan sujud kepada Allah ﷻ. Keluhkan segala permasalahan yang kita hadapi kepada Allah ﷻ. Hendaknya kita berusaha mencapai yang namanya ‘Shabrun jamil’, yaitu kesabaran yang tidak disertai dengan keluhan terhadap makhluk. Adapun mengeluhkan permasalahan kepada Allah tidak mengapa, dan itulah kebiasaan para nabi. Nabi Muhammad ﷺ mengeluhkan permasalahan beliau kepada Allah ﷻ. Nabi Ya’qub juga mengeluhkan kesedihannya kepada Allah ﷻ dengan berkata,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf: 86)
Demikian juga Nabi Zakaria yang mengeluh kepada Allah ﷻ dengan berkata,
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” (QS. Maryam: 4)
Perbanyaklah mengingat Allah ﷻ ketika diri sedang dirundung kesedihan. Allah ﷻ berfirman,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Sungguh, di zaman ini seseorang sangat mudah terpengaruh untuk mengeluhkan masalahnya ke media-media sosial. Ketika ditimpa masalah dan dirundung kesedihan, seseorang kemudian mengeluh dan menceritakan masalahnya kepada orang lain di media-media sosial. Coba renungkan, apa faedah dari mengeluh kepada manusia? Tidak ada. Orang-orang yang melihat keluhan Anda pun belum tentu akan membantu Anda, dan bahkan mungkin akan balik mengejek Anda. Betapa banyak orang yang mengeluh kepada manusia tidak mendapatkan apa-apa, bahkan yang timbul kemudian hanyalah kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang dia harapkan dari orang-orang.
Maka dari itu, ingatlah bahwa hanya dengan mengeluhkan masalah kepada Allah-lah kesedihan seseorang bisa hilang. Perbanyak berzikir, di antaranya dengan membaca Al-Qur’an, karena Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
اللَّهُمَّ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي
“Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya di dadaku, penghilang kesedihanku, dan penghilang keresahanku.”([6])
- Jangan terlalu mengingat masa lalu
Di antara nasihat untuk kita yang sedang bersedih adalah jangan kembali mengingat masa lalu. Ketahuilah, dengan bernostalgia dengan masa lalu, hal tersebut hanya akan memperbarui kesedihan. Mengingat masa lalu hingga menjadikan seseorang sedih adalah keinginan setan. Allah ﷻ telah berfirman,
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati.” (QS. Al-Mujadalah: 10)
Ketika orang-orang beriman sedih, dan kesedihannya berlebih-lebihan, akhirnya banyak perkara yang tidak bisa dia kerjakan. Misalnya, seorang wanita yang sedih berlebih-lebihan karena anaknya meninggal, maka dia akan susah untuk mengurus rumahnya, perhatian kepada suaminya berkurang, akan jarang lagi ikut pengajian, akan jarang membaca Al-Qur’an, karena kerjanya hanya menangis.
Oleh karenanya, segala hal dari masa lalu yang bisa membuat kita memperbarui kesedihan hendaknya tidak diingat kembali. Untuk apa kita menjebak diri kita pada kesedihan lalu yang tidak akan bisa kita perbaiki?
- Menghadiri majelis ilmu
Di antara hal yang bisa menenangkan hati yang lagi sedih adalah dengan mendatangi majelis ilmu. Hadirilah majelis-majelis ilmu tentang tawakal, tentang sabar, dan juga tentang tauhid. Dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, kita akan tahu bagaimana Allah ﷻ menetapkan sesuatu dengan hikmah-Nya, bagaimana Allah ﷻ memuji orang-orang yang sabar, dan bahkan dari majelis tersebut kita bisa mengetahui bagaimana kisah ujian orang-orang terdahulu, sehingga kita menyadari bahwa ujian kita belum ada bandingannya dengan ujian-ujian mereka.
- Berusaha membantu dan berbuat baik kepada orang lain
Di antara hala yang bisa mengurangi kesedihan kita adalah dengan berusaha membantu orang lain. Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah pernah berkata bahwasanya ada dua pokok kebahagiaan seseorang, yaitu ikhlas karena Allah ﷻ dan berbuat baik kepada orang lain.([7])
Jika di antara kita ingin bahagia, ikhlas dan berbuat baik kepada orang lain. Berusahalah untuk ikhlas dalam segala hal karena Allah ﷻ, bukan karena mencari komentar manusia, bukan karena kepentingan duniawi. Kemudian, berbuat baiklah kepada orang lain, karena setiap kali kita berbuat baik kepada orang lain maka Allah ﷻ akan menaruh kebahagiaan dalam hati kita. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. AL-Mujadalah: 11)
Para ulama menyebutkan bahwasanya yang di antara kelapangan yang dimaksud adalah kelapangan dada, yaitu kebahagiaan. Misalnya, ketika sedang salat Jumat, kemudian kita dapati ada orang yang sedang mencari tempat, kemudian Anda memanggilnya dan mengajaknya berdiri di samping Anda karena masih ada tempat, maka Allah ﷻ akan memberikan kebahagiaan kepada Anda.
Orang yang paling berbahagia adalah Nabi Muhammad ﷺ, karena beliau senantiasa memberikan bantuan kepada orang lain. Setiap kali ada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau, maka beliau pun bantu sesuai dengan kesanggupan beliau.
Oleh karenanya, berbuat baik kepada orang lain pasti akan mendatangkan kebahagiaan. Maka, ketika kita sedang bersedih, jangan lupa untuk membantu orang lain, atau bahkan membahagiakan orang lain, niscaya kesedihan tersebut akan dikurangi oleh Allah ﷻ, dan bahkan Allah ﷻ akan memberikan kebahagiaan kepada kita.
- Melakukan apa yang kita senangi
Di antara perkara yang disebutkan oleh para ulama, bahwa ada hal-hal materi yang bisa membantu kita untuk meringankan kesedihan, dan bahkan bisa membuat kita bahagia, yaitu dengan melakukan apa yang kita senangi.
Misalnya, ada orang yang ketika makan nasi padang sudah bisa bahagia, maka tidak mengapa baginya untuk makan makanan tersebut. Atau ada orang yang ketika melihat alam yang hijau bisa membuatnya bahagia, maka tidak mengapa dia pergi ke tempat-tempat rekreasi alam. Atau ada orang yang ketika bertemu temannya bisa menjadikannya bahagia, maka boleh baginya untuk pergi bertemu dengan temannya tersebut.
Selain itu, hendaknya seseorang menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan kesedihan bertambah. Misalnya, hindari bertemu dengan orang-orang yang suka gibah, hindari pertemuan yang membicarakan hal-hal yang menakutkan, dan yang lain-lain. Itu semua hendaknya dihindari, dan berusaha mengganti suasana yang bisa mendatangkan kebahagiaan.
- Meringankan musibah
Di antara hal yang bisa membuat kesedihan berkurang ketika tertimpa musibah adalah dengan meringankan kesedihan tersebut. Meringankan musibah bisa dengan dua cara:
Pertama: Mengingat musibah yang lebih berat
Misalnya seseorang terkena musibah berupa irisan pisau di jarinya, maka kemudian dia bersyukur bahwasanya hal tersebut bukan menimpa bibirnya, matanya, atau bahkan yang lebih parah daripada itu. Hal tersebut pasti akan mengurangi kesedihan kita atas musibah yang menimpa. Dengan begitu, seseorang bisa sadar bahwasanya nikmat yang Allah ﷻ berikan kepadanya jauh lebih banyak daripada musibah yang mungkin sesekali saja menimpanya.
Begitu banyak nikmat Allah ﷻ yang seharusnya menjadikan kita bersyukur jika dibandingkan dengan satu musibah yang menimpa kita. Bisa jadi kita masih mendapatkan nikmat berupa masih bisa membaca Al-Qur’an, nikmat masih bisa ke masjid, nikmat masih bisa sujud, nikmat masih bisa melihat berbagai macam keindahan, dan yang lainnya. Adapun ketika satu kenikmatan diambil oleh Allah ﷻ maka tidak mengapa, masih banyak kenikmatan lain yang masih bisa dirasakan.
Kedua: Melihat orang yang mendapatkan musibah yang lebih berat
Di antara cara meringankan musibah yang kita alami adalah dengan melihat orang yang mendapatkan musibah yang lebih berat daripada kita. Cobalah kita tengok kepada negara-negara lain yang sedang terkena musibah. Betapa banyak orang-orang yang terpisah dengan keluarganya gara-gara perang yang terjadi. Adapun negara kita jauh lebih aman, kita masih bisa ke mana-mana dengan aman, bisa pengajian dengan aman, masih bisa menjenguk keluarga dengan aman, dan berbagai kenikmatan lainnya.
Seseorang yang hanya bisa naik motor ke mana-mana, hendaknya dia melihat orang-orang yang tidak memiliki motor. Seseorang yang hanya bisa mengendarai sepeda ke mana-mana, hendaknya dia melihat orang-orang yang hanya bisa berjalan kaki karena tidak memiliki kendaraan. Seseorang yang hanya bisa berjalan kaki, hendaknya dia melihat orang-orang yang tidak bisa berjalan kecuali dengan kursi roda karena tidak memiliki kaki, dan bahkan ada orang yang hanya di rumahnya tidak bisa ke mana-mana. Oleh karenanya, ketika kita tertimpa musibah, maka sadarilah bahwasanya ada orang-orang yang tertimpa musibah yang lebih berat daripada kita. Dengan begitu, kesedihan kita akan semakin berkurang, dan bahkan bisa jadi kita akan jadi lebih bersyukur.
Ketiga: Senantiasa optimis
Di antara hal yang akan mengurangi musibah yang kita alami adalah dengan optimis bahwasanya berapa lama pun musibah ini kita lalui, pasti ada jalan keluarnya. Allah ﷻ telah berfirman,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6)
Kita tentu paham bahwa cuaca tidak selalu dingin, akan datang cuaca panas. Bahkan, kegelapan yang semakin gelap di malam hari akan berujung terangnya mentari pagi. Oleh karenanya, hendaknya kita senantiasa optimis dengan musibah yang kita alami, bahwasanya jalan keluar itu pasti ada, seseorang tidak akan terus berada dalam suatu musibah. Yang namanya kesedihan akan berlalu dan tinggal cerita, dan kemudian akan berganti menjadi kebahagiaan.
Inilah beberapa nasihat bagi siapa saja di antara kita yang bersedih. Yang terpenting, ketika seseorang di antara kita ditimpa musibah, maka hendaknya kita bersabar. Seorang penyair pernah berkata,
“Allah telah menyiapkan istana di surga, isinya adalah kesedihan dan kegelisahan, dipagari dengan penderitaan, dan yang bisa masuk hanyalah orang yang membaca kunci kesabaran.”
Ingatlah bahwasanya tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak diuji, tentunya dengan ujian yang berbeda-beda, hanya saja tinggal bagaimana sikap kita dalam menghadapi ujian tersebut. Kemudian ingatlah bahwa imanlah yang mempengaruhi sikap seseorang dalam menyikapi ujian, maka hendaknya kita senantiasa memperbarui iman kita agar bisa menghadapi ujian dan musibah dengan cara yang Allah ﷻ ridai.
Catatan kaki:
1#
([1]) HR. Ahmad No. 1481, sanadnya hasan sebagaimana dinyatakan oleh Al-Arnauth.
([2]) Lihat: HR. Bukhari No. 5648.
([4]) HR. Ahmad No. 6870, Al-Arnauth menyatakan hadis tersebut sanadnya sahih berdasarkan syarat Imam Muslim.
([6]) HR. Ibnu Majah No. 4031, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.
([7]) HR. Tirmizi No. 2396, dinyatakan hasan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([8]) HR. Abu Ya’la No. 6095, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir No. 1625.
([11]) HR. Ahmad No. 8027, Al-Arnauth menyatakan sanadnya sahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
([12]) HR. Tirmizi No. 2399, dinyatakan hasan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([14]) Ummu Mildam adalah kunyah dari penyakit demam. Ini di antara tanda kekuasaan Allah ﷻ.
([15]) HR. Ahmad No. 14393, dengan sanad yang sahih.
2#
([1]) Lihat: Shifah ash-Shafwah, karya Ibnul Jauzi (2/140-141).
([2]) HR. Ibnu Majah No. 77, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([6]) Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 199, hadis tersebut sahih.
([7]) Lihat: Tafsir As-Sa’di (hlm. 883).
Sumber:
1# https://bekalislam.firanda.com/5961-untukmu-yang-lagi-sedih-1.html
2# https://bekalislam.firanda.com/5963-untukmu-yang-lagi-sedih-2.html